Menurut Ibnu Sina, munculnya jiwa berasal dari persenyawaan elemen-elemen primer kehidupan di bawah pengaruh benda-benda langit. Menurutnya, yang pertama kali muncul adalah jiwa nabati, diikuti oleh jiwa hewani dan diakhiri oleh jiwa manusiawi. Semua itu tentunya berlangsung selaras dengan daya tampung masing-masing jiwa. Jiwa nabati didefinisikannya sebagai dasar pertumbuhan dan reproduksi, jiwa hewani sebagai dasar gerak (kehendak) dan penangkapan terhadap rangsangan partikular, dan jiwa manusiawi sebagai dasar pertimbangan, pemahaman dan pilihan terhadap hal-hal yang universal.

Sebagai akhir perjalanan biologis dan generatif, jiwa manusia mempunyai dua pokok bagian yang penting, yaitu teoretis dan praktis. Jiwa teoretis mempunyai empat subbagian, yakni potensial, habitual, actual, dan capaian. Keempat subbagian ini mewakili tingkatan perkembangan intelektual.

Tahapan lanjutan dari perkembangan intelektual diatas adalah tahapan mistis, yaitu tahapan yang akan tercapai apabila jiwa sudah “tak terbatas”, menjalin hubungan dengan intelek aktif sehingga bisa menangkap hal-hal universal tanpa melalui proses pembelajaran, tetapi cukup dengan intuisi. Ibnu Sina mengibaratkan tahap ini sebagai tahap profetis, tahap berfungsinya nalar suci, atau disebut juga tahap puncak kemampuan intelektual manusia, yang dapat mempersepsi aneka bentuk audiovisual dan mempengaruhi peristiwa fisik secara ajaib yang hanya ada pada para filosof dan nabi.

Sifat yang menonjol dari psikologi Ibnu Sina yaitu tatanan hierarkinya, yang didalamnya kemampuan yang rebdah selalu patuh pada kemampuan yang lebih tinggi. Maka dari itu, panca indera selalu patuh pada kemampuan batin, dan kemampuan batin selalu patuh pada kemampuan rasional. Sensus communis yang bertugas merakit data inderawi, tunduk pada daya citra, daya citra tunduk pada daya cipta, daya cipta tunduk pula pada daya tamping atau daya ingat. Panca indera yang terangsang oleh daya motif (penggerak) menunjukkan bahwasanya marah dan hasrat manusia dapat dengan mudah mengatur system motorik atau otot manusia.

Kebahagiaan dan kepuasan jiwa terlatak pada bagaimana kita mampu mempersepsikan keindahan dan kebaikan alam fikiran kita. Menurut Ibnu Sina, pada saat itulah jiwa dapat mencapai kebahagiaan sejati.

Tetapi Ibu Sina sadar betul akan kenyataan bahwa hanya segelintir orang yang dapat mencapai kebahagiaan sejati, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, mungkin hanya para nabi dan filosof terpilih yang dapat merasakannya. Banyaknya orang yang tidak dapat mencapai kebahagiaan ini karena ketidaksiapannya secara alamiah maupun karena kelemahan dan kelalaiannya dalam mengarungi kehidupan dan menjalani dan meraih kehidupan intelektualnya. Jiwa malang yang tetap hidup setelah membusuknya raga ini, lantas akan merasakan nestapa yang luar biasa, sehingga ia menjadi mati rasa akan kenikmatan ragawi.

Pemikira Ibnu Sina ini sungguh merujuk pada hakikat manusia itu sendiri, yang ternyata raga tanpa adanya jiwa adalah mati. Tentang psikologi Ibnu Sina yang menganut tatanan hierarki, menurut saya paham ini membuat pemikirannya sedikit kehilangan keluwesannya, karena adanya sifat mengatas-bawahi yang seolah memiliki benteng yang kuat. Tetapi konsepnya tentang kebahagiaan sejati sangatlah bijaksana dan begitu mengisi hausnya keingintahuan kita tentang kebahagiaan sejati. Yang mungkin secara sederhana dapat diartikan bahwa kebahagiaan sejati pasti tercapai bila jiwa kita yang merasakannya, tentu raga pun akan merasakan kebahagiaan tersebut. Tetapi jika kebahagiaan raga yang terpenuhi terlebih dulu, belum tentu dapat membuat jiwa kita bahagia.

Sumber: www.parapemikir.com

0 komentar:

Posting Komentar

Daftar Blog Saya

Text

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Labels

Labels

Labels

jumlah pengunjung

free counters
Copyright 2010 shan_laela
Lunax Free Premium Blogger™ template by Introblogger